Sudah sangat lama sejak terakhir saya jalan dengan teman kuliah saya ini,Ryza dan Aris. Walau kami berada di kota yang sama dan tempat tinggal kami sangatlah dekat, namun kami jarang sekali ketemu. Undangan pernikahan dari salah satu teman kuliah kami yang lain membuat kami tidak menyia-nyiakan kesempatan yang langka ini. Apalagi undangannya adalah di semarang yang nota bene adalah tempat kuliah kami dulu.
Diputuskanlah tanggal 9 oktober 2010 dengan menggunakan Argo anggrek dari pasar turi kami meluncur ke stasiun tawang, semarang. Cukup 4 jam perjalanan dan tanpa keringat sedikitpun karena ac kereta eksekutif ini sangat dingin. Sesampainya di stasiun tawang, kami menyusuri kota lama,melewati kampus kami di GKN I samping kantor pos besar di nol kilometernya semarang, menuju pasar johar. Sebelum mencari penginapan kami makan dulu di warteg langganan kami ketika kuliah (yang dulu di daerah petek pindah ke pasar johar). Sayang mba2 yang jadi penjaga warteg yang kami kenal sedang tidak ada ditempat. Rasanya sangat nostalgic melihat jalan yang setiap hari kami lewati menuju kampus, dan memakan makanan yang tiap hari kami konsumsi.
Dari hasil googling hari sebelumnya, kami mendapat beberapa rekomendasi tempat penginapan murah di sekitar simpang lima. Satu hal yang perlu dicatat ketika mencari penginapan-apalagi yang murah-adalah pastikan untuk booking dulu jauh2 hari. Atau paling tidak telepon untuk memastikan bahwa teleponnya berfungsi atau tempat yang dituju masih berdiri. Penginapan pertama adalah wisma kesehatan yang berada di samping telkom di simpang lima, sedang direnovasi. Dilihat dari bangunannya yang besar, sebenarnya sangat recommended. Penginapan kedua adalah wisma GKPRI yang di jalan ahmad Yani, yang ternyata berganti nama dengan hotel Ahmad Yani,sudah penuh. Satu lagi penginapan di wisma Mugas depan stadion trilomba juang yang ditelepon berpuluh2 kali tidak ada yang mengangkat. Setelah sedikit kehujanan dan putus asa mencari penginapan murah, akhirnya kami menginap di hotel telomoyo di jalan gajahmada,sedikit jauh dari simpanglima. Yang harusnya budget untuk menginap adalah 50-100 ribu membengkak jadi 265 ribu. Jadi pengen nyanyi lagunya Lenka – I want my money back..I want my money back… $_$
Sore hari kami wisata kuliner, pisang plenet di jalan pemuda, tepatnya sebelah Sri ratu pemuda. Nothing special, padahal dulu keliatannya enak sekali. Mungkin karena saya sudah banyak makan makanan yang lebih enak kali ya.hahahha… sedangkan malam hari setelah muter2 simpang lima, kami mendarat di tahu gimbal. Salah satu makanan khas semarang yang tidak bisa saya temukan di surabaya.
Pagi hari,niat mo jalan lagi di simpang lima,namun sepertinya pasar paginya udah tutup atau memang udah tidak ada lagi (?). kamipun meluncur ke lawang sewu. Beruntung kami datang pagi, karena ketika kami selesai touring keliling bangunan bersejarah ini, banyak sekali rombongan yang baru sampai.
Lawang Sewu
Ketika kami menapakkan kaki di depan lawang sewu, kami sempat ragu2 karena sang objek sedang di renovasi. Namun kami dipersilakan masuk dengan ramah oleh bapak2 di pos penjaga. Setelah membayar tiket seharga Rp. 10.000 per orang, kami dipandu oleh seorang pemuda asli semarang. Dari beliau kami mendapat keterangan yang cukup mengenai sejarah lawang sewu ini Lawangsewu dibangun tahun 1908, yang dikerjakan oleh arsitek Belanda Profesor Klinkkaner dan Quendaag. Tahun 1920, gedung ini mulai dipakai sebagai kantor pusat Nederlandsch Indische Spoor-weg Maatschapij (NIS), sebuah maskapai atau perusahaan kereta api pertama di Indonesia yang berdiri pada tahun 1864. (info dari http://www.forumkami.com/forum/cafe/11919-pic-sejarah-lawang-sewu.html) baru saya tahu kalo orang jawa menyebut kereta api dengan ‘sepur’ itu berasal dari bahasa belanda Spoor :P
Sampai di ruang bawah tanah, kamipun memutuskan untuk memasukinya. Ternyata tiketnya berbeda dengan tiket yang kami beli ketika pertama masuk, dan pemandunya pun berbeda. Cerita seram mulai muncul,bukan karena sering dipakai untuk uji nyali atau sejenisnya yang katanya banyak hantu muncul, namun lebih ke kekejaman penjajah. Pada jaman Belanda, ruang bawah tanah fungsinya cenderung seperti ac pada jaman sekarang: menetralisir suhu bangunan. Air yang dialirkan ke kotak2 kecil di ruang bawah tanah,kelembabannya terserap oleh pori2 bangunan sehingga bangunan lebih dingin. Sedangkan pada jaman Jepang, kotak2 kecil itu dijadikan sebagai penjara. Satu kotak ukuran sekitar 1 x 1 meter dengan ketinggian sekitar setengah meter,5-6 orang tahanan disuruh jongkok disitu dengan kepala menghadap keatas.sedangkan di atasnya ditutup dengan jeruji besi. Ada juga sel berdiri, dengan ukuran sempit diisi 5-6 orang sedangkan kaki mereka tidak bisa lurus dan penutup di atas kepala mereka ditaruh besi2 yang apabila mereka tidak sadar, kepala mereka akan tertusuk besi itu. Dan lebih kejamnya lagi, apabila dalam satu sel ada yang telah meninggal, mayatnya tidak langsung di singkirkan namun baru dibersihkan ketika dalam satu sel semua tawanan sudah meninggal.
Di ruang lain, ada 2 kolam yang katanya sebagai tempat penjagalan. Kepala tawanan dipotong dari badannya, dan badan tersebut dibuang ke sungai samping lawang sewu (Yang oleh penduduk sekitar diberi nama kali mayit),untuk menghilangkan jejak siapa saja yang telah dibunuh.sangat sadis!
Datang ke tempat bersejarah seperti ini, mendengar cerita tentang perjuangan para pahlawan, melihat dengan mata kepala sendiri ruang demi ruang, membayangkan betapa dahsyatnya pertempuran, membuat saya begitu mensyukuri telah dilahirkan di jaman kemerdekaan,dimana tidak perlu lagi angkat senjata dan berperang. Semoga para pahlawan yang telah gugur amalnya diterima di sisiNya.amiin
Kondangan
Tidak perlu dijelaskan. Yang penting datang-salaman-poto2-makan-pulang.hehehehehee
sampe paragraf tengah masih bisa ngguya ngguyu, tp pas terakhir2, kok merinding ya tik...
ReplyDeleteerrr..aku malah durung tau ning lawang sewu. anak macam apa aku ini
ReplyDelete